Minggu, 04 Desember 2011

Cerita-cerita

Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan merasakannnya sebagai sekedar dongeng. Bukan karena Anda tidak mempercayai saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu; namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma-norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan.
Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:
1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh –kalau sekarang mungkin dipanggil kiai– Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti layaknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh Sa’id hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.
Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”
“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengadu atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.
2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.
Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale-bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?
3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya, “Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.
Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat Anshor– itu dengan tersenyum, sabdanya: “Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”
Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?!
Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf pegangan kita yang lain. Hampir semuanya, bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng. Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita –masya Allah!—sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang saleh-saleh.
Wallahu a’lam.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari membaca notes ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat.
____________________
Source from mailist huttaqi, get from gusmus.net
Shared by Catatan Catatan Islami Pages

Wasiat Terakhir Imam Al-Ghazali

Imam Ghazali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian beliau bertanya pada adiknya, “Hari apakah sekarang ini?” 
Adiknya pun menjawab, “Hari senin.”
Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, Menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya s…ambil berkata lirih, “Ya Allah, hamba mematuhi perintahMu,”
… dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya.Di bawah bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali ra., barangkali pada malam sebelumnya.
“Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku
Dengan nama Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging
Ini hanyalah rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu ,yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sbg kenangan
Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku
Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari ini , aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca
Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang2an, tidak lebih
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan
Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang
Janganlah takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya.
Source http://www.ghazali.org/
Shared By Catatan Catatan Islami Pages

Cerita-cerita

“Bunda, kenapa Allah gak kasih kita hidup enak yah?” tanya seorang anak pada ibunya.
“Mungkin karena Allah amat sayang sama kita,” jawab bundanya dengan santun.
“Begitu ya, bunda?” Anaknya berujar.
“Iya, nak. Allah amat sayang sama kita, Allah gak mau kita terlena sama nikmat dunia,” sambil meneteskan air mata Bundanya berujar pelan.
Sore pun menjelang, bersiaplah Umar kecil untuk pergi ke masjid dekat rumahnya. Mengenakan peci kesayangannya dan kain sarung yang agak kumal. Langkahnya berpacu dengan suara iqamah petang itu.Dari sudut jendela, bundanya tertegun melihat anaknya amat riang mendengar panggilan Allah itu.
“Ayo, nak, bergegas. Jangan sampai kau telat shalat maghrib ini!” teriak bundanya dari balik jendela.
“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum. ..” jawab Umar.
Bangga rupanya bunda Umar ini, melihat pelita kecilnya rajin ibadah. Matanya berkaca-kaca saat teringat Ramadhan tahun yang lalu.
“Sayang, andai kau lihat anak kita saat ini, dia lucu sekali,” gumam bunda Umar dalam hati.
Melayang pikiran bunda Umar, mencoba mengingat setahun yang lalu di kamar ini. Selepas ia tunaikan shalat maghrib, diraihnya Mushaf kecil agak kusam lalu air matanya menetes perlahan.
“Sayang, aku rindu saat-saat itu,” lirihnya pelan sebelum membaca Ar-Rahman malam itu.
“Andai kau ada di sini sayang, melihat tingkah Umar yang lucu. Memegang pipinya yang tembem, kau elus rambutnya yang lebat. Akhhh… Betapa nikmat, sayang. Andai Allah berikan kesempatan kita berkumpul kembali, menikmati lantunan suaramu saat kau jadi Imam kami, kau bacakan surat kesukaanmu, kau do’akan kami semua agar kami sehat selalu. Kau berikan tanganmu untuk kukecup tanda baktiku untukmu. Kau elus kepala imut Umar, sayang. Andai kesempatan itu kembali terulang.”
“Bunda, kenapa nangis?” dielusnya pipi putih Bunda oleh Umar.
“Bunda gak apa-apa kok, nak. Bunda cuma kangen sama ayah,” sambil dikecupnya kening Umar yang baru pulang dari masjid.
“Bunda, emang ayah ke mana?” tanya polos Umar.
Sambil menitikan air mata, Bunda pun membelai kepala kecil Umar.
“Ayah udah ketemu sama Allah, nak. Ia tersenyum di sana. Ayah titip pesen kalo Umar harus jaga Bunda. Kau mau, nak?” tanya Bunda sambil mengusap air mata.
“Mau, Bunda. Bunda kesayangan Umar. Umar pastiii jagaa bunda,” sambil tersenyum riang Umar menjawab.
Tawa kecil pun meledak di malam sunyi itu.
“Ayo, nak. Mari kita tidur. Besok pagi-pagi kita temui ayah. Umar harus janji sama ayah bakal jaga Bunda ya?” ajak Bunda.
“Iya, Bunda. Umar janji jaga Bunda,” mata Umar pun seraya tertutup.
“Masya Allah…” teriakku terbangun dari tidur. Tak terasa sudah hampir 3 jam aku tertidur amat pulas. Sesaat tersadar kalau malam ini, aku bermimpi bertemu Umar dan suamiku.
“Allahu akbar…” tak terasa aku kembali meneteskan air mata.
Terkenang semua yang pernah terjadi malam ini, kecelakaan yang merengut kedua belahan jiwa membuatku kembali menitikan air mata.
Masih ingat olehku, bagaimana senyum manis Umar sebelum berangkat shalat ke masjid. Masih ingat olehku, bagaimana suamiku mencium keningku sebelum aku pergi tidur.
“Tuhan… Jaga belahan Jiwaku. Berilah mereka tempat yang lapang, ya Rabb. Kumpulkan mereka sebagai umatmu yang bertakwa. Tuhan… Kumpulkan kami kembali di JannahMu. Aku rindu Umar…” do’aku lirih menutup qiyamul lail malam ini.
Bunda sayang kalian… Tunggu bunda yah! Kita pasti akan bertemu kembali, sayang.
Laa ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu minazhahaalimin. ..Laa haula walaa quwwata illaa billaahil’aliyyil’ azhim

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari membaca notes ini
Silahkan SHARE ke rekan anda untuk berbagi.

By Ukasah Aditya